Senin, 07 Desember 2009

diksi

1. Pendahuluan

Setiap hari mulai dari bangun tidur hingga kembali untuk tidur, kita senantiasa melihat, mendengar, dan membaca iklan. Ketika membaca koran, mendengarkan radio, menonton televisi, berjalan-jalan di pusat perbe-lanjaan, di pasar, selalu ada iklan. Iklan selalu hidup dan berada kapan saja dan di mana saja dalam kehidupan kita.

Keberadaan iklan dimulai di Inggris tahun 1472, melalui kemun-culan iklan cetak berupa buku baru doa gereja yang ditempelkan di gerbang. Surat kabar pertama yang terbit di London tahun 1650 mulai menggu-nakan iklan terselubung karena iklan belum ditata secara profesional. Di Amerika, surat kabar pertama yang memasang iklan pada terbitannya adalah

terkandung dalam wacana iklan berbahasa Indonesi. Tulisan ini adalan kajian singkat terhadap iklan berbahasa Indonesia.

Penulis mengambil data dari media cetak dan audiovisual. Data media tulis, penulis ambil dari surat kabar, spanduk, baliho, papan reklame, sedangkan data dari media elektronik penulis ambil dari iklan televisi (melalui perekaman audio maupun visual). Data dipilih secara acak sesuai dengan trend masyarakat. Data dan analisisnya masih sangat sederhana sehingga temuannya

pun boleh jadi baru bersifat hipotetis. Kajian lebih lanjut dengan data yang lebih memadai, dengan kedalaman analisis yang lebih baik tentu akan dapat menjelaskan temuan dalam tulisan ini.

Pengembangan laras bahasa iklan menjadi daya tarik untuk tujuan ekonomi dalam ranah advertising. Selain itu, diharapkan melalui pene-laahan yang mendalam eksistensi bahasa iklan memberikan informasi yang positif yang dapat mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku yang dapat menyadarkan masyarakat untuk dapat memilah mana yang diperlukan sehing-ga tidak berperilaku konsumtif. Dengan kata lain, melalui pilihan kata yang tepat diharapkan iklan dapat memberi pembelajaran yang positif pada berbagai kalangan masyarakat Indonesia untuk malu melakukan sesuatu perbuatan, pekerjaan, kebi-asaan, dan tingkah laku yang kurang baik. Melalui sindiran, ejekan yang bersifat sarkasme dan sinisme mampu mengungkapkan kondisi sosial, budaya, politik, dan lain-lain.

2. Bahasa Iklan

Bahasa dalam iklan dituntut mampu menggugah, menarik, meng-identifikasi, menggalang kebersamaan, dan mengombinasinasikan pesan dengan komparatif kepada khalayak (Stan Rapp & Tom Collins, 1995:152). Struktur kata dalam iklan menggugah: mencermati kebutuhan konsumen, memberikan solusi, dan memberikan perhatian; informatif : kata-katanya harus jelas, bersahabat, komunikatif; persuasif: rangkaian kalimatnya mem-buat konsumen nyaman, senang, dan menghibur. Contohnya pada iklan rokok A-Mild dalam seri “Tanya kenapa”. Iklan tersebut dipasang di sepanjang jalan tol. Iklan tersebut bertuliskan “terhambat di jalan bebas hambatan” dengan visual yang dilatari oleh kemacetan mobil. Oleh karena itu, iklan tersebut dipasang di sepanjang jalan tol di Jakarta. Dapat dipastikan target audience adalah pengguna jalan tol tersebut. Namun, apa kaitan kata-kata itu dengan rokok A-Mild?

Seperti kita ketahui bahwa iklan-iklan seri tersebut selalu berisi kritik sosial. Dalam konteks ini, iklan rokok A-Mild mengusung brand rokok yang cerdas dan kritis terhadap kondisi masyarakat. Iklan A-mild ini unik sekaligus menghibur. Kerapkali kita menemukan pesan, misalnya saat bulan Ramadan “ngobrol jangan cuma setahun”. Menjelang Idul Fitri “karena maaf jadi gampang, jadi gampang bikin salah ( ) gampang maafin ( ) gampang bikin salah” Sebagian orang akan mengernyitkan dahi pada waktu membaca atau mendengar iklan tersebut. Perlu pemikiran yang cukup cermat dan agak lama. Untuk sebagian orang lagi, iklan ini memberikan makna yang sangat dalam bahwa masyarakat harus peka terhadap hal-hal yang tidak lugas. Contoh lain iklan A-mild yang mengandung pesan implisit “Jalan pintas dianggap pantas”, “Gali lubang Tutup Lupa”, “Kalo banyak celah kenapa harus nyerah”, “Terus terang, Terang Ga bisa Terus-terusan”, “Mau pintar, ko mahal”, “Susah ngeliat orang seneng, seneng ngeliat orang susah”, semua kalimat tersebut selalu diakhiri kalimat “Tanya kenapa?”.

Bahasa yang dipakai dalam iklan harus mengarahkan target audience untuk membeli, meng-gunakan, atau

beralih pada produk jasa yang diiklankan. Gaya bahasa yang dipakai harus disesuaikan dengan siapa ia berbicara, bagaimana kebiasaan perilaku, di mana mereka berada.

Akan tetapi ada yang berpen-dapat bahwa bahasa dalam iklan terkadang dipandang menarik, jika bersifat main-main, atau menurut Hakim (2006) bersifat “lanturan”. Menurutnya “lanturan” berbeda dengan kata yang melantur atau ngawur, tidak nyambung dengan topik yang dibahas. Sementara lanturan adalah sengaja melantur atau melantur dengan tujuan. Namun, lanturan yang dibuat harus selalu dijaga relevansinya. Hal yang paling dekat dengan lanturan adalah plesetan. Orang muda saat ini tidak merasa gaul jika tidak banyak berplese-tan dalam bercanda. Orang tertawa ketika mendengar plesetan karena relevansinya. Relevansi dalam konteks ini adalah kata asli yang diplesetkan-nya.

Sugiyono (2007) mengatakan bahwa dalam setiap iklan memunculkan unsur pengingat catcher baik yang berupa suara, gambar, atau bahasa verbal menjadi amat penting sehingga suatu saat hanya dengan mendengar, melihat, atau membaca pengingat itu, konsumen langsung terhubung dengan produk yang diiklankan. Contoh ini dapat ditemukan pada masa ospek di tingkat pendidikan menengah. Siswa baru harus membawa barang-barang yang harus mereka terjemahkan dari kata-kata (catcher) yang ada pada iklan barang tersebut, seperti membawa minuman selamet (minuman Fruity yang diiklankan dengan mengangkat kata selamet; selamet penjaga sekolah, selamet kan badak jawa), minuman Riyo Mori (bintang iklan minuman, You C 1000, yang seorang Miss Universe2007 dari Jepang yang bernama Rio Mori), 1 gigitan 4 kelezatan (coklat beng beng), minuman biar nggak jajan (minuman Okky Jelly), minuman darah bangsawan bersoda (pepsi blue), coklat pelit, snack mendesah, snack nggak sengaja (biscuit oopss).

3. Perang Iklan Melalui Bahasa Verbal

Permainan bahasa dan pemakaian makna konotatif umum dipakai dan diterapkan pada bahasa iklan. Contohnya sebuah lembaga pendidikan beriklan menggunakan kata-kata yang secara sepintas bermakna konotatif Akademi X tempat kuliah orang berdasi. Makna orang berdasi yaitu pekerja kantoran, eksekutif, orang yang berkelas. Pemakaian makna konotatif memberi-kan imej lembaga yang diiklankan adalah tempat kuliah orang-orang berdasi. Pada kenyataannya, seragam yang digunakan lembaga pendidikan tersebut memang menggunakan seragam baju lengan panjang, celana berwarna gelap, dan berdasi. Ternyata orang berdasi yang dimaksud dalam iklan adalah makna denotatif atau makna sesuangguhnya. Pembalikan logika dalam iklan bisa jadi untuk mengelabui belaka.

Perang iklan melalui bahasa verbal, contoh lainnya adalah Gery Toya Toya yang melabrak iklan coklat wafer momogi. Dalam iklan tersebut divisualkan seorang anak yang gemuk berkaus merah. Isi percakapannya

• Kirain coklat ga taunya broklat - Mau lagi?

• Gak! Gak mow-mow lagi!

Iklan tersebut menyindir coklat wafer Momogi, karena pada kemasan coklat tersebut tertulis “Satu kelezatan terbaru dari MOMOGI, Wafer Vanila Chocolate! Bentuknya yang panjang memberikan kepuasan yang lebih lama, dengan rasa vanilla coklatnya yang beda dari wafer lain, khusus untuk kalian yang suka wafer dua rasa. Sekali coba MOMOGI . . . pasti mow mow lagi”.

Dengan melihat dua hal itu, sejumlah produsen cenderung meng-gunakan permainan bahasa melalui slogan dan simbol dari produk saingan-nya untuk menunjukkan keunggulan produk mereka (http//peni-usd.vox.com/library).

4. Bahasa Iklan dan Maksud Penggunanya

Iklan adalah produk tontonan yang dikemas dalam sebuah rangkaian yang berisi berbagai tanda, ilusi, manipulasi, citra, dan makna (Arixs, 2006). Informasi melalui iklan dinilai berpengaruh langsung maupun taklangsung terhadap persepsi, pema-haman, dan tingkah laku masyarakat (Darmawan, 2006).

Studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Pragmatik merupakan tataran yang ikut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa.

Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (a) bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (c) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh pembicara; (d) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas (1995:2) memandang pragmatik dari dua sudut pandang, (1) sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara speaker meaning; (2) sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran utterance interpretation. Selanjutnya Thomas (1995:22) mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi meaning in interaction.

J.L. Austin (dalam Thomas 1995:31) melalui analisis perfor-matifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech act), berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsi-kan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran, benar-salah (truth condi-tion) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan, 2004:8).

Contoh

(1) Dengan ini, saya nikahkan (performatif)

(2) Rumah Luna terbakar (konstatif)

Dalam contoh (2) struktur dalam ujaran dapat saja berbunyi Saya katakana bahwa rumah luna terbakar. Austin, kemudian mengklasifikasikan tindak tutur dalam tiga aktivitas pembicara, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule, 1996:48). Tindak lokusi diartikan sebagai pengujaran kata atau kalimat dengan arti yang tetap dengan maksud tertentu atau berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusi adalah pembuatan pernyataan, perintah, janji, dalam sebuah ujaran menurut kese-pakatan yang berhubungan dengan ujaran atau dengan ekspresi performatif. Dengan kata lain berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusi merupakan penga-ruh atau akibat yang ditimbulkan oleh kata-kata atau kalimat ujaran terhadap pendengar dan situasi ujaran. Jadi, perlokusi berkaitan dengan efek pema-haman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas, 1995:49). Tindak tutur yang dikembangkan oleh Searle (Gunarwan, 2004:9) berupa tindak tutur langsung (direct speech-act) dan tindak tutur tidak langsung (indirect speech-act). Contoh dari tiga tindak tutur tersebut

(1) “Tembak!”

Ketika seorang komandan menyatakan ujaran tersebut, ia melakukan tindakan lokusi (Wahab, 1995:47).

(2) “Saya tidak bias pergi”.

Ketika seseorang menyatakan ujaran ini kepada temannya, ia tidak hanya menyatakan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan tindakan, yaitu meminta maaf. Dengan demikian, ia melakukan tindak ilokusi (Wijana, 1996:18).

Leech (1993:162) membagi tindak ilokusi dalam empat kategori, yaitu a. kompetitif, tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, missal-nya memerintah, meminta, menuntut, dan mengemis; b. menyenangkan, tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan, mengajak / mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan mengucapkan selamat; c. bekerja sama, tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, melapor, mengumumkan, dan menga-jarkan; d. bertentangan, tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi

Searle (dalam Leech, 1993:164) menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicarnya benar, missal-nya menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan; direktif meru-pakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu, misalnya memesan, memerintah, memohon, member nasihat; komisif merupakan tindak-tutur yang diguna-kan pembicarnya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya, misalnya menjanjikan, menawarkan, berkaul; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya, misalnya mengucapkan terima kasih, selamat, maaf, mengecam, memuji; dan

deklarasi merupakan tindak tutur yang mengu-bah status sesuatu, misalnya mengundurkan diri, memecat, member nama, menjatuhkan hukuman (Littlejohn 2002:80 dan Yule, 1996:53-54).

A. Tindak Tutur

“Minum makanan bergizi”, dalam ungkapan itu penutur mengatakan bahwa jika pendengar minum Energen berarti ia meminum makanan bergizi (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan bahwa minum energen berarti minum makanan bergizi (ilokusi), penonton membeli produk Energen dan merasakan manfaat gizi yang terkandung di dalamnya. “Buktikan nikmatnya, dapatkan hadiahnya”, penutur mengatakan pendengar harus membuktikan kenikmatan Torabika dan pendengar akan mendapatkan hadiahnya (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan bahwa pendengar harus membuktikan kenikmatan Torabika dan pendengar akan mendapatkan hadiahnya (ilokusi), penonton membeli produk Torabika dan membuktikan kenikmatannya dan mendapatkan hadiahnya. “Ngga ada kamu, ngga ‘rame’”penutur mengata-kan bahwa kalau tidak ada pendengar tidak ramai (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan bahwa kalau tidak ada pendengar tidak ramai (ilokusi), penonton membeli produk Sampoerna Hijau dapat membuat suasana menjadi ramai. “Kamu adalah kamu” penutur mengatakan bahwa kamu adalah kamu (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan bahwa kamu adalah kamu (ilokusi), penonton membeli produk U Mild yang dapat membuat ia menjadi dirinya sendiri. “Untung pakai Esia”, penutur mengatakan bahwa untung ia memakai Esia (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan bahwa untung ia pakai Esia (ilokusi), penonton memakai Esia karena Esia sangat murah biayanya (perlokusi).

B. Jenis Ilokusi

“Minum makanan bergizi”, penutur mengatakan bahwa kalau pendengar minum Energen

berarti pendengar minum makanan bergizi (ilokusi langsung), penutur meminta pendengar untuk minum Energen karena mengandung makanan bergizi (ilokusi taklangsung); “Ngga ada kamu, ngga ‘rame’”penutur menyatakan bahwa kalau tidak ada pendengar suasananya tidak ramai (ilokusi langsung), penutur mengajak pendengar mengonsumsi Sampoerna Hijau yang dapat membuat suasana ramai.

Fungsi ilokusi dari contoh-contoh iklan di atas adalah asertif penutur melakukan tindak menyatakan bahwa minum Energen berarti minum makanan bergizi, penutur melakukan tindak menyatakan bahwa kalau tidak ada pendengar tidak ramai, penutur melakukan tindak menyatakan bahwa untung ia memakai Esia.

5. Simpulan

Bahasa yang dipergunakan dalam iklan di media massa dan elektronik seringkali tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar, contohnya iklan operator telepon seluler. Dengan demikian, penggunaan bahasa yang tidak efektif menyebabkan pesan yang ingin disam-paikan pada konsumen

tidak tepat sasaran. Akan tetapi, iklan memerlukan tampilan yang dikemas dengan bahasa membumi, kontekstual, dan ‘gaul’. Kondisi ini yang menyebabkan ada keprihatinan pada banyak kalangan. Ada yang berpendapat bahwa bahasa iklan tidak mesti sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi belum ada kriteria bagaimana sebaiknya bahasa iklan tersebut. Bila membuat iklan dengan memperhatikan kaidah bahasa meng-gunakan pola SPOK, menggunakan kalimat efektif, kata-kata yang diguna-kan akan sangat panjang dan kurang menarik. Bahasa dalam iklan terkadang dipandang menarik, jika bersifat main-main, atau bersifat “lanturan”. Hal yang paling dekat dengan lanturan adalah plesetan. Orang muda saat ini tidak merasa gaul jika tidak banyak berplesetan dalam bercanda. Orang tertawa ketika mendengar plesetan karena relevan-sinya. Relevansi dalam konteks ini adalah kata asli yang diplesetkannya. Kata-kata dalam iklan merupakan tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi; kata-kata tersebut merupa-kan jenis ilokusi langsung dan taklangsung, dan memiliki fungsi asertif.

Dalam setiap iklan harus di-munculkan unsur pengingat catcher baik yang berupa suara, gambar, atau bahasa verbal menjadi amat penting sehingga suatu saat hanya dengan mendengar, melihat, atau membaca pengingat itu, konsumen langsung terhubung dengan produk yang diiklankan. Kata yang dipilih harus dapat memberi ketepatan makna karena pada masyarakat tertentu sebuah kata sering mempunyai makna yang baik, dan pada masyarakat lain memberikan makna yang kurang baik. Penggunaan kata harus disesuaikan dengan norma kebahasaan suatu kalangan.

6. Pustaka

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Brown, Gillian., George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana

Darmawan, Ferry. Posmodernisme Kode Visual dalam Iklan Komersial”. Jurnal Komunikasi Mediator. 2006.

Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta : Jalasutra.

Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.

Kaswanti, Bambang (ed). 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta : UI Press.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Nurhayati, Eva. upt@pustakaupi.or.id URN etd-1221105-100307. Kajian Wacana Iklan Berbahasa Indonesia di Radio Ditinjau dari Sudut Pragmatik. Bandung:UPI.

Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda.

Thomas, Linda., & Shan Wareing. 2007. Bahasa Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.

http://www.Kompas.com/Kompas-cetak/0611/18/humaniora/3101490

http://peni-usd.vox.com/Library/post/Kegiatan belajar-2-bahasa-iklan-html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar